Senin, 28 November 2016

Longsoran Selili, Samarinda, Kalimantan Timur

“GUNUNG STELING – SELILI, SAMARINDA: TINJAUAN GEOLOGI DAN KESEJARAHAN WILAYAH”

PROLOG
Gunung Steling telah lama dikenal di Samarinda, sebagai suatu perbukitan yang awal didiami oleh masyarakat, karena beberapa alasan: dekat dengan pelabuhan kota yang menyebabkan kawasan tersebut menjadi pusat niaga dan kegiatan masyarakat; dekat dengan sumber air, karena keberadaan muara Sungai Karang Mumus di sekitar kaki bukitnya dan keberadaan Sungai Mahakam yang menjamin ketersediaan air sepanjang tahun; pemandangan eksotik di perbukitan ke arah Sungai Mahakam yang berkelok.
Jalur-jalur setapak menuju puncaknya menjadi alternatif wisata menarik bagi warga yang ingin menikmati pemandangan lepas ke Sungai Mahakam dan hiruk pikuk bangunan di sekitarnya.
Gunung Steling, dengan segala keindahan dan cita rasa nostalgianya, ternyata juga menyimpan potensi negatifnya berupa bahaya kebencanaan berupa tanah longsor. Padatnya hunian menambah beban kelerengan semakin berat dalam menyangga kekuatan perbukitan yang ada.
Pemahaman yang baik tentang potensi geowisata wilayah Gunung Steling dan juga potensi kebencanaan wilayah ini, diharapkan akan membuat masyarakat bisa lebih bijaksana dalam menata dan mengembangkan kawasan ini.

A. LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH
Lokasi Gunung Steling ini berada dalam wilayah Samarinda, bagian dari kecamatan Samarinda Ilir (Gambar A). Untuk menuju kawasan ini, bisa dilakukan dengan berkendara menuju kelenteng Thien Ie Khong atau Pelabuhan Samarinda, melewati jembatan Selili yang di bawahnya adalah Sungai Karang Mumus, menuju persimpangan jalan Gurami – jalan Lumba-Lumba dan belok kanan masuk jalan Lumba-Lumba.
Jalan Lumba-Lumba relatif mengikuti kaki perbukitan Gunung Steling. Puncak Gunung Steling dapat dicapai secara umum lewat dua jalur. Jalur 1 melewati Gang 01, dan jalur 2 melewati Gang 13. Keduanya di jalan Lumba-Lumba (Gambar B).

B. KESEJARAHAN GUNUNG STELING
Gunung Steling atau Gunung Selili telah lama dikenal dalam catatan masa lalu sebagai kawasan yang telah lama dihuni oleh masyarakat. Salah satu anggota masyarakat setempat sempat bertutur, bahwa dulu Belanda berniat membangun tempat pendaratan helikopter di salah satu bagian puncak bukit tersebut, namun kemudian diketahui bahwa daerah tersebut tanahnya labil, hingga akhirnya pekerjaan tersebut urung dilakukan. Rencana pekerjaan tempat pendaratan helikopter tersebut boleh jadi kelak lokasi tersebut direncanakan untuk lokasi pendaratan logistik barang-barang keperluan pekerjaan lain. Sumber lain menyatakan, lokasi pendaratan helikopter itu memang ada, dan masih ada jalur jalan aspal yang tersisa di sekitar lokasi pendaratan helikopter tersebut (dikutip dari Syamsir Syam Chello, dalam diskusi di grup History of Samarinda, 23 Maret 2016).
Pekerjaan lain itu, masih menurut cerita warga tersebut, adalah kegiatan pengeboran dalam rangka mencari minyak bumi. Kondisi wilayah tersebut kemudian secara geologi disadari merupakan kawasan yang labil karena dilewati oleh patahan besar yang memanjang ke arah utara hingga sekitar Prangat, dan dinilai berbahaya untuk pekerjaan konstruksi pengeboran. Belum ditemukan sumber bacaan yang bisa memverifikasi cerita ini, tentang rencana pengeboran pada zaman Belanda di wilayah ini.
Catatan lama di buku terbitan tahun 1892 berjudul “Borneo: It’s Geology & Mineral Resources” hasil tulisan Theodor Posewitz yang aslinya berbahasa Jerman dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Frederick H. Hatch menyebutkan tentang kawasan bernama G. Salili.
Gunung Salili alias Gunung Selili atau Gunung Steling, disebutkan karena keterdapatan batubaranya, yang menurut catatan di buku tersebut, mencapai 200.000 ton.
Kata “Steling” ini, dalam pencarian menggunakan Google Translate tidak menemukan padanan makna di bahasa Belandanya. Dua kata yang dekat adalah kata “Stelen”, yang bermakna ‘mencuri’, dan kata “Steeling” yang bermakna ‘menguatkan’ dalam bahasa Belanda.
Adaptasi kata “Steling” yang mungkin berasal dari kata “Steeling” yang bermakna ‘menguatkan’ ini, boleh jadi muncul dikarenakan keberadaan bukit tersebut yang dianggap menguatkan kawasan tersebut dari terjangan energi arus Sungai Mahakam yang sebelumnya berarah N 130 E (relatif barat – timur) di sepanjang jalan Yos Sudarso, berubah mendadak menjadi N 195 E (relatif utara – selatan) setelah muara Sungai Karang Mumus.
Perubahan mendadak arah Sungai Mahakam ini, sejatinya disebabkan oleh terjadinya patahan di kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (12 juta hingga 5 juta tahun lalu), sehingga alur sungai Mahakam berkelok mengikuti bidang lemah batuan yang terbentuk akibat patahan tersebut.
Di sisi lain, istilah "Steling" atau "Steleng" ternyata di era pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia, cukup populer untuk merujuk ke istilah untuk 'tempat pertahanan' atau 'benteng perlindungan'. Posisi bukit tersebut memang strategis untuk melihat sisi Sungai Mahakam yang lebih hilir, mengantisipasi lebih awal kapal yang datang dan melakukan persiapan sebagaimana mestinya.
Beberapa temuan yang dilaporkan oleh rekan-rekan dari komunitas Jelajah beberapa waktu lalu, menunjukkan indikasi adanya gua buatan dan tumpukan atau susunan batuan yang dianggap bagian dari kebudayaan masa lalu, mungkin di era pergerakan tersebut. Hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara geologi maupun arkeologi.

C. PERISTILAHAN GUNUNG DAN BUKIT MENURUT ILMU GEOLOGI
Gunung menurut ilmu geologi dijabarkan sebagai wilayah dengan kedudukan lebih tinggi dari 300 meter dibandingkan wilayah sekitarnya, umumnya kelerengannya relatif terjal (lebih dari 25 persen kelerengan).
Sementara bukit, dijabarkan sebagai wilayah dengan kedudukan lebih tinggi 30 - 300 meter dibandingkan wilayah sekitarnya dengan kelerengan umumnya lebih dari 15 persen. Bukit dapat dibedakan menjadi bukit rendah (low hill) berketinggian 30 – 90 meter dan bukit tinggi (high hill) berketinggian 90 – 300 meter dari kawasan sekitarnya (dikutip secara bebas dari GLOSSARY OF LANDFORM AND GEOLOGIC TERM).
Dengan mempertimbangkan kaidah di atas, maka semestinya secara peristilahan, gundukan batuan di kawasan Selili atau kadang disebut Gunung Steling tersebut, sebenarnya masih merupakan bukit. Selisih ketinggian ‘Gunung Steling’ tersebut dibandingkan wilayah sekitarnya, kurang dari 300 meter, bahkan termasuk “low hill” karena ketinggiannya kurang dari 90 meter (Gambar D).

D. GEOLOGI REGIONAL GUNUNG STELING
Secara regional, kawasan Gunung Steling ini merupakan bagian dari Formasi Pulau Balang (menurut Supriatna dkk, 1995) berdasarkan hasil pemetaan geologi di kisaran tahun 1978, sebagai perselingan antara “greywacke” dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuf dasit. Umurnya Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal.
Land & Jones (1987) menyebutkan wilayah Gunung Steling tersebut tergolong dalam pre Loa Duri Strata yang berumur relatif Miosen Bawah (22.5 juta hingga 15 juta tahun lalu).

E. ALTERNATIF JALUR PENDAKIAN GUNUNG STELING
E.1. JALUR 1 MENUJU PUNCAK GUNUNG STELING
Jalur ini melewati Jalan Lumba-Lumba dan memasuki Gang 01. Kendaraan roda empat maupun roda dua dapat parkir di pelataran SD 028 dan 014 yang terletak di sisi dalam gang. Gang bisa dilewati satu mobil saja, tak bisa berpapasan (Gambar 1A – 1B). Dari pelataran sekolah tersebut, perjalanan dapat dilanjutkan berjalan kaki.
Kondisi jalan berupa jalanan semen, yang tergolong licin dilewati. Di sebagian ruas jalan semen tersebut, ada jalan setapak berupa undak tangga dari bata yang disusun, untuk memudahkan pejalan kaki menuju sisi lebih atas (Gambar 1C – 1E).
Kadangkala dapat teramati singkapan soil atau batuan lapuk dari jalur yang dilewati. Rata-rata berupa lempung pasiran (Gambar 1F). Di ruas tertentu, dapat teramati turap parit yang terbelah, yang kemungkinan disebabkan oleh pergerakan perlahan tanah di wilayah tersebut yang memang rawan longsor (Gambar 1G). Pada akhirnya, jalan semen habis dan berganti menjadi jalan tanah (Gambar 1H).
Sepanjang perjalanan menuju puncak ketika melewati jalan setapak tanah, kadangkala teramati batuan yang secara umum merupakan batupasir, variasi antara batupasir kuarsa dan batupasir gampingan (Gambar 1I – 1L) dan kadangkala material lempung (Gambar 1M), baik di lereng maupun pada puncak utara G. Steling tersebut (Gambar 1N).
Di puncak G. Steling sisi utara, tampak kelok Sungai Mahakam yang berubah arah menuju selatan, dengan dataran di sisi selatan (sisi kiri pengamat) adalah wilayah Samarinda Seberang, dan sisi utara (sisi kanan pengamat) adalah wilayah Samarinda kota. Gerumbul belukar, perdu dan pepohonan lumayan menghalangi pandangan ke arah Sungai Mahakam.
Di bagian puncak sisi utara ini, tanahnya relatif lapang dan datar, sebagian besar ditutupi rerumputan dan sebagian tak merupakan tanah terbuka yang kadangkala dijadikan tempat berkemah atau bermalam bagi para penggiat wisata luar ruang. Hal ini tampak dari onggokan sisa bakaran di salah satu sudut setapak yang ada.
Dalam jarak datar, jauhnya perjalanan dari jalur 1 ini (mulut Gang 01) menuju puncak utara G. Steling, mencapai 445 meter.

E.2. JALUR 2 MENUJU PUNCAK GUNUNG STELING
Jalur ini melewati Jalan Lumba-Lumba dan memasuki Gang 13. Kendaraan roda empat maupun roda dua dapat parkir di pelataran masjid “Kamal” yang terletak di pinggir jalan Lumba-Lumba. Gang bisa dilewati satu motor saja, tak bisa berpapasan (Gambar 2A – 2B) dan bahkan pejalan kaki harus beringsut minggir ketika berpapasan dengan pengendara motor. Sambil berjalan menanjak memasuki Gang 13, pandangan dapat diarahkan ke Sungai Mahakam di sisi belakang (Gambar 2C).
Kondisi jalan berupa jalanan semen, yang terkadang berwujud undak tangga, dengan kelerengan rata-rata lebih landai dibandingkan jalur 1. Beberapa rumah panggung tampak di kiri kanan jalan setapak yang dilalui (Gambar 2D – 2F).
Jalan setapak semen berganti menjadi jalan setapak tanah menuju sisi yang lebih atas. Material lempung pasiran sebagai lapisan tanahnya masih konsisten pada wilayah ini. Beberapa tanaman sawit tampak di sekitar jalan setapak, dan ditemui juga beberapa struktur tembok rendah (50 – 60 cm) yang belum diketahui kegunaannya, melewati perdu dengan sela pepohonan (Gambar 2G – 2I) hingga akhirnya sampai ke puncak bukit.
Di puncak G. Steling sisi selatan ini, tampak kelok Sungai Mahakam yang berubah arah menuju selatan, dengan dataran di sisi selatan (sisi kiri pengamat) adalah wilayah Samarinda Seberang, dan sisi utara (sisi kanan pengamat) adalah wilayah Samarinda kota.
Pemandangan ke arah Sungai Mahakam dari puncak pada sisi selatan ini, lebih jelas. Pepohonan menghiasi pemandangan di sisi bukit lebih bawah, dengan sisi atas bukit berupa semak belukar. Pada beberapa bagian sisi puncak, belukar tak hadir, kemungkinan disebabkan area tersebut yang sering digunakan oleh masyarakat sekitar atau pengunjung untuk beraktivitas, baik bermain bola maupun berkemah.
Dalam jarak datar, jauhnya perjalanan dari jalur 1 ini (mulut Gang 13) menuju puncak utara G. Steling, mencapai 390 meter.
F. ASPEK POTENSI KEBENCANAAN KAWASAN GUNUNG STELING
Kawasan G. Steling yang merupakan bagian dari kelurahan Selili, Samarinda, adalah kawasan yang lama dikenal sebagai kawasan rawan longsor.
Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda tahun 2014 – 2034 menyebutkan kelurahan Selili, bersama dengan kelurahan Sidodadi, merupakan kawasan rawan bencana alam dengan kategori rawan longsor (Pasal 37).
Bulan Februari tahun 2015, tanah longsor terjadi di kawasan Selili. Beberapa bagian tanah bergerak ke arah bawah, membuat beberapa rumah mengalami pergeseran tiang hingga menjadi tak aman lagi dihuni. Kesiagaan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah beserta lembaga lain dan kerja sama yang baik dengan masyarakat, membuat tak sampai ada korban jiwa dari kejadian ini (Gambar 3A – 3C).
Kondisi pergerakan tanah pada waktu itu, menyebabkan jaringan pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengalami gangguan dan sempat terhenti aliran airnya. Indikasi kebocoran pipa PDAM sekitar 2 tahun terakhir memang sudah diketahui ada di wilayah tersebut. Salah satu pejabat di Samarinda menyalahkan aliran air yang keluar dari pipa jaringan yang bocor tersebutlah yang menyebabkan terjadinya longsoran pada kisaran Februari 2015 lalu, meski dibantah oleh pihak PDAM yang menyatakan bahwa terjadinya gerakan tanah secara perlahanlah yang menyebabkan pipa PDAM tersebut menjadi bocor (Gambar 3D).
Sejatinya, kawasan tersebut memang kawasan rawan longsor, sebagai akibat persinggungannya dengan patahan yang memanjang hingga ke arah Prangat. Adanya patahan yang melewati kawasan Gunung Steling atau Selili, menyebabkan kawasan tersebut banyak memiliki bidang lemah pada batuannya, lazimnya berwujud retakan-retakan.
Seiring waktu, retakan-retakan tersebut mengalami pelapukan oleh karena curah hujan di wilayah tropis dan matahari yang bersinar sepanjang tahun. Lapukan-lapukan tersebut berangsur menjadi lempung pasiran yang pada kondisi tertentu menjadi jenuh air, utamanya di kisaran musim penghujan (bulan November – Februari).
Kawasan yang sudah diketahui rawan longsor tersebut, beban lerengnya semakin berat karena semakin padatnya pemukiman di wilayah tersebut. Bangunan yang sebelum tahun 1980-an masih didominasi oleh kayu, berangsur menjadi bangunan batu bata di periode 1990an ke atas.
Hal ini jelas semakin mengganggu kestabilan lereng di wilayah tersebut, sehingga gerakan tanah berangsur terjadi di kawasan tersebut, ditandai dengan beberapa retakan-retakan yang terjadi pada struktur bangunan batu bata yang ada hingga terjadi rekahan, meregang atau menjauhnya tiang rumah kayu hingga bangunan menjadi miring, dan pada kasus PDAM, terjadinya kebocoran yang diakibatkan oleh meregangnya jaringan pipa yang ada, karena bergeraknya tanah di mana tiang pipa PDAM tersebut menancap.
Sehingga, memang tidak tepat bila dinyatakan bahwa kebocoran pipa PDAM-lah yang menyebabkan longsoran di kisaran Februari 2015 lalu, mengingat longsoran juga terjadi pada masa di mana curah hujan tinggi pada kawasan jenuh air yang memang rawan longsor dengan beban bangunan yang berat pada pemukiman padat penduduk.

PENUTUP
Kawasan Gunung Steling merupakan kawasan yang memiliki potensi pengembangan geowisata di Samarinda, dengan ragam jalur pendakiannya yang relatif mudah diakses oleh semua kalangan, muda dan dewasa. Pemandangan dari puncak bukit yang ada ke arah Sungai Mahakam merupakan obyek fotografi tiada habisnya, dan telah menginspirasi banyak orang, bahkan sejak jaman penjajahan oleh Belanda. Suatu kombinasi antara destinasi wisata alam dan wisata sejarah, karena Belanda pun pernah mengabadikan momen ketika berada di puncak Gunung Steling ini.
Pembuatan jalur lintas menuju puncak Gunung Steling yang lebih baik dan aman akan menjadi suatu keunggulan bagi kawasan ini bagi pengembangan kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata alternatif.
Pada sisi lain, pemerintah daerah juga harus mengembangkan konsep kesiagaan masyarakat dalam penanganan potensi bencana tanah longsor yang ada di kawasan ini.
Masyarakat setempat harus diajarkan secara berkelanjutan tentang pemahaman tanah longsor, pelatihan untuk mengenali ciri atau gejala awal tanah longsor, bagaimana melaporkannya ke struktur pemerintahan setempat (ketua Rukun Tetangga, pihak kelurahan, kecamatan dan seterusnya), memasang rambu-rambu jalur evakuasi dan merancang titik tertentu sebagai pos evakuasi sementara, dan secara rutin membuat simulasi evakuasi tanah longsor.
Selain itu, juga perlahan memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar tentang bahayanya tinggal di kawasan tersebut, dan bila memungkinkan, mengatur suatu skema pemindahan penduduk ke wilayah lain yang dianggap lebih aman, sekaligus untuk mengembangkan kawasan pemukiman masyarakat Samarinda agar tidak terkonsentrasi di wilayah tertentu saja.
Pemerintah kota Samarinda setidaknya pernah melakukan program relokasi pemukiman warga, dalam kasus relokasi warga bantaran Sungai Karang Mumus.
Artinya, model serupa mungkin saja diterapkan di kawasan Gunung Selili di masa mendatang, sehingga secara bertahap kawasan tersebut tidak lagi dominan dihuni oleh masyarakat sebagai kawasan tempat tinggal, namun bisa lebih dioptimalkan sebagai kawasan resapan air maupun pengembangan geowisata.
Salam Geologi.
Salam Samarinda Bahari.
Fajar Alam
NB: tulisan ini sebelumnya sudah diunggah di grup FB: Samarinda Bahari (28 Juni 2015).

Sumber : https://www.facebook.com/iagikaltim/posts/790860657678643. Di akses pada tanggal 28 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar